Petualangan Ari : Dengan Tante Hani
Tiga hari pertama aku tinggal di rumah Tante Hani, aku dan Mbak Vidya tiap malam berhubungan seks. Kami bangun selalu sebelum jam 4 pagi untuk melakukannya sekali lagi sebelum aku pindah ke kamar tamu.
Namun, setelah petualangan seksku dengan ibu di rumah kami, nafsu seksku terbiasa diumbar bebas, melakukan seks hanya malam dan pagi membuat aku merasa kekurangan. Akhirnya, pada hari ke empat, aku mencoba melakukannya di pagi hari setelah sarapan.
Saat itu kami sedang duduk di ruang keluarga. Tante Hani sedang berkebun di halaman belakang. Pembantu mereka sedang keluar untuk belanja bahan makanan. Aku dan Mbak Vidya baru selesai sarapan dan memutuskan untuk menonton TV.
Mbak Vidya duduk memanjang di sofa besar dengan kaki di atas sofa menghadap TV. Aku duduk di sofa kecil di sebelahnya. Mbak Vidya belum mandi dan masih mengenakan piyama model celana panjang dan baju you can see dengan kancing di depan. Saat itu udara tidak begitu panas, namun Mbak Vidya baru saja sarapan indomie rebus dan sedang bermandikan peluh.
Bau tubuh Mbak Vidya yang belum mandi sedikit tercium dari tempatku duduk. Rambutnya agak lepek dan ia sedikit terengah-engah mungkin karena beberapa cabe rawit yang dimasak di indomienya. Aku menjadi horny.
Aku segera menghampiri Mbak Vidya lalu melumat bibirnya yang merekah itu tiba-tiba. Untuk beberapa waktu Mbak Vidya membalas lidahku dengan lidahnya. Dari mulutnya aku dapat merasakan sedikit kuah indomie rasa kari ayam yang membuat aku bertambah buas melumat bibir dan mulutnya. Bunyi kecupan bibir kami mulai bertambah banyak dan cepat. Namun akhirnya Mbak Vidya mendorongku dan dengan suara tertahan berkata,
“Adek! Nanti kelihatan orang lain. Lagian Mbak kan belum mandi!”
“Ga ada orang, Mbak. Terus, biar Mbak belum mandi, tubuh Mbak harum baunya.”
“tapi kalo kelihatan Ibu gimana?”
“Ari kangen, Mbak….. ga tahan nih…….”
“Ah…. Ariii…… jangan dong…….. bahaya….”
“Mbak…. Sebentar aja ya……. quickie express aja gimana? Ga tahan nih….. abis Mbak cantik banget…… bikin Ari ga nahan…..”
Mbak Vidya mengerutkan keningnya, aku mengecup bibirnya lagi. Kami berciuman sebentar sebelum akhirnya Mbak Vidya melepaskan ciuman lagi.
“Jangan ahhhhh…..”
Dengan cepat aku merogoh celana piyamanya dan terkejut ketika mendapati tangan kiriku itu tidak terhalangi celana dalam melainkan telapakku meraba selangkangannya yang gundul itu.
“Adek!”
Mbak Vidya menghardikku pelan dan tangannya menahan tanganku namun tidak berusaha menepis tanganku. Hanya menahan pelan saja. Aku menggerakan jemariku hingga mengelusi bibir memeknya. Mbak Vidya mendesis sambil membisikan agar aku menghentikan aktivitasku itu.
Namun aku tetap mengelusi kemaluan botak Mbak Vidya sambil cengengesan. Mbak Vidya mengerutkan dahinya sambil memonyongkan mulut untuk memperlihatkan bahwa ia sebal. Namun di mataku, Mbak Vidya tambah cantik saja.
“Mbak Vidya tambah cantik loh…..”
Lalu aku mencium bibirnya dan kali ini kami berciuman agak lama. Lambat laun vagina Mbak Vidya menjadi basah juga dan keringatnya bertambah deras. Bau tubuh Mbak Vidya menjadi bertambah keras tercium di udara.
“ya udah…. Di kamar Mbak aja ya…. biar bisa dikunci,” kata Mbak Vidya setelah melepaskan ciuman kali ketiga dan sambil berdiri untuk berjalan cepat ke kamar. Aku tidak siap sehingga butuh sepersekian detik untuk mengejarnya. filmbokepjepang.net
Aku berhasil mengejarnya di kaki tangga dan memegang tangannya, tapi Mbak Vidya lebih cepat reaksinya dan berhasil melepaskan diri. Kami berkejaran sehingga pertengahan tangga di mana tangganya membelok 90 derajat dan kali ini aku berhasil memegang kedua pinggulnya. Mbak Vidya berusaha meloloskan diri namun tak berhasil. Ia memegang pagar tangga dan berusaha menarik tubuhnya agar lepas dari cengkramanku.
Berhubung tanganku mencengkram celana piyamanya maka kini tiba-tiba saja celana panjangnya itu tertarik sampai lutut.
“Aaaahhh…..” jerit Mbak Vidya.
Mbak Vidya berhenti walau berhasil naik satu tangga karena celananya melorot sehingga posisinya kini sedang berpegangan ke tangga dengan kaki kanan di anak tangga yang lebih tinggi satu tingkat dari anak tangga tempat kaki kirinya berada. Posisinya ngangkang. Berhubung ia tidak pakai celana dalam, maka kini Mbak Vidya sedikit nungging berpegangan tangga dengan pantat dan memek yang telanjang dengan kaki kanan menekuk berlutut karena tertahan oleh cengkramanku di kakinya.
Dengan sigap aku segera menghampiri Mbak Vidya sambil melorotkan celana pendekku lalu memposisikan kontolku yang sudah tegang didepan memeknya yang basah itu dan menusuk lubang kenikmatan Mbak Vidya.
Gerakanku begitu cepat sehingga hanya membutuhkan beberapa detik saja. Memek Mbak Vidya sudah basah namun belum kuyup, sehingga agak sedikit seret. Sensasinya bagaikan sedang memperkosa, dan aku menjadi buas.
“Adeeeekkk……” erang Mbak Vidya.
Dengan cepat aku merojok-rojok memek Mbak Vidya yang sempit dan hangat itu dengan kontolku, kemudian aku peluk Mbak Vidya dari belakang dengan kedua tanganku untuk kupegang baju piyamanya di bagian lubang leher piyama itu, lalu dengan sekuat tenaga aku bedol baju piyamanya sehingga berhamburanlah beberapa kancing-kancing piyamanya sehingga kini piyamanya terbuka paksa, namun masih ada dua kancing tersisa dan kembali aku buka paksa sehingga kedua kancing itu copot juga.
Aku remas teteknya yang ternyata masih terbalut bra. Dengan gemas aku melepaskan pelukanku dan hendak merobek bajunya, tetapi saat tangan kananku menarik kerah bajunya, Mbak Vidya melepaskan tangan kanannya dari pagar tangga dan menggerakan tangan itu ke belakang sehingga gerakanku membuat baju piyama Mbak Vidya terlepas dari tangan kanannya sehingga kini bajunya tergantung di tubuh bagian kiri karena tangan kiri Mbak Vidya masih memegang tangga.
Tak sabar aku geser baju itu ke samping sehingga berjumbel di tangan kiri Mbak Vidya. BH hitam Mbak Vidya kini yang menutupi tubuh bagian atasnya. Sungguh indah melihat punggung putih penuh keringat Mbak Vidya yang berbalut bra hitam sementara tubuh bagian bawahnya sudah telanjang bulat. Tubuh seksi itu terguncang-guncang karena gempuran tubuhku yang sedang mengawininya di tangga. Mbak Vidya kembali memegang tangga dengan kedua tangannya, tak peduli lagi baju piyamanya yang sudah rusak dan tergantung di tangan kiri.
Selama itu, memek Mbak Vidya kini sudah basah kuyup membuat dinding kemaluan Mbak Vidya yang sempit itu semakin licin. Selangkanganku menampari pantatnya semakin cepat. Aku menyusupkan kedua tanganku ke dalam BHnya dari arah bawah sehingga kedua tanganku dapat meremas kedua payudara Mbak Vidya tanpa halangan apapun lagi, namun aku tak mau melepas BHnya, karena dari belakang terlihat seksi sekali pemandangan seorang perempuan yang hanya memakai BH hitam sementara bagian tubuh yang lain sudah bugil.
Aku mulai menjilati punggung Mbak Vidya yang basah kuyup oleh keringat kakak sepupuku itu. Tak lupa aku memberikan cupangan di sana sini. Sementara kini Mbak Vidya hanya mampu mengerang saja kugagahi di tengah tangga seperti ini sambil tetap berpegangan pada jeruji tangga. Makin lama punggung putih indah Mbak Vidya sudah belang-belang dihiasi bercak cupanganku telah bermandikan keringatnya yang bercampur air ludahku. Sementara, Mbak Vidya sudah mengerang-ngerang dan badannya maju mundur dengan cepat.
Aku pun menambah cepat goyanganku. Suara selangkanganku dan pantat Mbak Vidya beradu terdengar membahana terpantul dinding rumah yang besar itu. Sementara tanganku terus menerus meremas-remas tetek Mbak Vidya dengan penuh nafsu, entah apakah Mbak Vidya merasakan sakit, aku sudah tidak lagi peduli.
Jepitan memek Mbak Vidya yang belum lama ini masih perawan memang sensasional. Kontolku bagaikan terhimpit dinding berbentuk silinder yang hangat dan licin. Setiap gerakan kontolku entah maju entah mundur menyebabkan sedikit rasa ngilu yang menjalar sepanjang batang kontolku menuju seluruh tubuhku.
Entah berapa lama kami ngentot di tangga, akhirnya Mbak Vidya duluan orgasme. Dinding memeknya seperti biasa bagaikan hidup, membuka menutup di sekeliling batangku seakan hendak menghisapi alat vitalku agar masuk lebih dalam lagi. Beberapa detik kemudian aku merasakan puncak kenikmatan persenggamaan ini, dengan menggenggam payudara Mbak Vidya keras-keras, aku mengenyot kuat-kuat punggungnya sambil aku tekan kontolku sejauh yang kudapat di dalam lubang persenggamaan kakak sepupuku itu dan memuntahkan spermaku dalam rahim mudanya.
Beberapa saat berlalu kami berdua melepaskan nafsu birahi, dunia bagaikan berhenti berputar, waktu bagaikan terdiam sejenak. Seluruh indera kami memusatkan perhatian pada kedua kelamin kami yang sedang bersatu dan berbagi klimaks.
Tak lama Mbak Vidya selesai orgasme dan tubuhnya melemah dan bagian depan tubuhnya merosot kebawah, sementara aku menegakkan badan tanpa melepaskan alat vitalku yang masih bersarang di dalam lembah kenikmatannya. Sungguh pemandangan indah.
Suara kaki Tante Hani membuat kami otomatis bergegas merapikan baju kami dan berlari ke kamar agar tidak ketahuan..
Setelah hari keempat, ada perubahan pada Tante Hani yang kurasakan, tiap kali aku sedang berdua dengan Mbak Vidya, Tante Hani menatap kami berdua dengan pandangan aneh, yang menurutku mirip-mirip dengan pandangan orang yang sedang bercuriga. Apakah Tante Hani mengendus sesuatu yang aneh dari hubunganku dan anaknya?
Kalau dipikir-pikir, antara Mbak Vidya dan aku sekarang mesra sekali. Kami selalu berdua kemana-mana. Mbak Vidya seringkali merangkul lenganku bila berbicara, dan kami tidak risih saling berbisik-bisik. Jadi, aku semakin yakin bahwa Tante Hani menjadi curiga karena hubungan aku dan anaknya sudah seperti dua remaja yang sedang jatuh cinta satu sama lain.
Hal ini aku sampaikan kepada Mbak Vidya ketika kami berduaan di kamar setelah hari yang kelima aku menginap di sana, namun Mbak Vidya hanya tertawa saja dan berkata padaku,
“Makanya, kamu otaknya ngeres melulu sih. Sedikit-sedikit kalau tidak ada orang kamu nyiumin Mbak. Terus kalau yakin ga bakal ada orang yang ganggu, kamu setubuhi Mbak di tempat, ga peduli lagi ada di tangga, kamar mandi, ruang makan dan di mana aja. Itulah sebabnya kamu jadi parno sendiri. Supaya ga parno, kamu coba deh jangan terlalu nafsu sama Mbak. Masa sama Mbaknya sendiri nafsu?”
“Salah Mbak Vidya sendiri…” kataku cepat.
“Loh, kok salah Mbak? Kan adek yang selalu duluan ngajakin Mbak untuk gituan gak pandang tempat dan waktu.”
“Habis Mbak Vidya itu cantik banget. Kalau dekat begini Ari selalu nafsu. Biar Mbak Vidya pakai baju yang longgar pun, tapi kalau Ari udah mencium aroma tubuh Mbak Vidya, selalu deh burung Ari bangun…”
Mbak Vidya tertawa kecil lalu mendorong kepalaku sambil berkata,
“Dasar lelaki! Biar masih kecil tapi otaknya ngeres melulu!”
Aku merengutkan mukaku pura-pura marah, namun kemudian kupeluk tubuhnya dari samping. Saat itu kami sedang tiduran menghadap langit-langit sambil berbicara. Pelukanku membuat tubuhku setengah menindih tubuh Mbak Vidya sementara bibirku menyerang bibirnya.
“Tuh, kan……” kata Mbak Vidya merajuk sesaat sebelum kedua bibir kami bertemu.
Tak lama aku sudah menindih Mbak Vidya sementara kami berdua asyik menukar ludah dengan kedua lidah kami yang bergelut dalam rongga-rongga mulut kami. Tiba-tiba saja terdengar panggilan Tante Hani yang mengajak kami makan siang dan suara itu sudah dekat kamar Mbak Vidya.
Serta-merta aku menggulingkan tubuh ke samping dan saat aku duduk di pinggir tempat tidur pintu kamar telah terbuka. Mbak Vidya tidak secepat aku beraksi. Dia masih berbaring telentang dan wajah yang terkejut. Untung saja kami belum membuka baju kaos kami. Benar-benar nyaris ketahuan!
“Lagi ngapain pada?” tanya Tante Hani. Aku mendengar nada menuduh di kalimat itu, namun Mbak Vidya tampaknya tidak merasakan yang sama. Mbak Vidya lalu menjawab,
“Biasa, Ma.. lagi ngobrol aja…”
Aku melihat Tante Hani melirik selangkanganku. Aku saat itu memakai kaos singlet dan celana boxer. Dan baru kusadari bahwa burungku sedang tegang. Celana boxer itu memperlihatkan batangku yang panjang dan keras menyembul seakan mau mengeluarkan diri dari kungkungan celana ketat itu. Parahnya lagi, aku ketahuan hanya memakai baju dalam saja yaitu Singlet dan celana boxer (bagi yang tidak tahu, celana boxer adalah celana dalam model celana pendek).
Mbak Vidya memakai kaos you can see dan celana pendek ketat pula. Bila diperhatikan, maka putingnya terlihat menembus baju kaosnya itu karena Mbak Vidya tidak pakai BH. Untung saja celana pendek Mbak Vidya tidak tipis, karena pada saat itu kakak sepupuku itu juga tidak memakai celana dalam. Bila celananya tipis, tentu akan terlihat bahwa ia tidak memakai celana dalam.
Tante Hani meninggalkan kamar dengan alis yang ditekuk. Aku pikir tanteku itu sudah mulai mengendus ketidak laziman hubungan anaknya dan aku. Sebelum aku dapat membahas ini, Mbak Vidya sudah mendorongku ke luar kamar dan menyuruhku makan siang duluan. Aku bergegas ke kamarku untuk memakai celana panjang dan kaos, dan ketika aku sampai di ruang makan, Mbak Vidya juga sudah memakai celana jins dan kaos longgar.
Setelah makan siang Tante Hani pergi, katanya ia akan kembali sebelum makan malam. Kesempatan ini segera aku manfaatkan sebaik-baiknya. Mbak Vidya dan aku main sampai tiga kali sore itu. Alhasil, ketika makan malam selesai, Mbak Vidya yang kelelahan sudah tidur duluan. Aku sempat ingin merasakan menyetubuhi perempuan yang sedang tidur, namun akhirnya aku putuskan untuk ke ruang keluarga untuk menonton TV.
Aku agak terkejut ketika mendapati Tante Hani sedang menonton TV dengan berbaring di sofa. Kekagetanku disebabkan pakaian Tante Hani yang seksi sekali. Beliau memakai gaun tidur tanpa lengan yang panjang roknya berhenti di atas lututnya. Gaun tidur itu berwarna hitam, namun di beberapa bagian transparan, yaitu pada bagian atas dadanya dan di bagian perutnya. Bagian atas gaun itu berbentuk setengah lingkaran, yaitu pada bagian tali lengannya dan bagian atas dadanya. Bagian atas dada yang terlihat hanya sampai permulaan kedua payudara tanteku itu mulai meninggi. Berhubung kedua teteknya besar, maka terlihatlah bagian lipatan dadanya membentuk garis sangat tipis karena himpitan kedua payudara yang besar itu.
Saat aku memasuki ruang keluarga, Tante Hani sedang tiduran dengan tangan kirinya diletakan di atas bantal menyangga kepalanya, sehingga terlihatlah ketiaknya yang putih dan berbeda dari ibuku, Tante Hani mencukur habis ketiaknya. Bahkan, tidak terlihat ada satu pun akar rambut di situ. Mungkin Tante Hani mencabuti bulu ketiaknya dengan teratur, karena tidak ada tanda bekas cukur yang menggelap di sana. Ketiak Tante Hani benar-benar mulus dan botak. Dengan melihat ini saja, sontak kejantananku mengeras sampai pol.
“Ari?” tanya tante Hani padaku sedikit terkejut. “Tumben kamu turun ke sini. Biasanya main sama Mbakmu terus…”
Aku merasakan sedikit ketakutan ketika Tante Hani mengatakan ‘main’, aku parno apakah ia mengetahui bahwa aku selama beberapa hari ini terus menggauli anak gadisnya itu?
“Eh…..” kataku sedikit tercekat,” Mbak Vidya udah tidur. Mungkin capek.”
“Ah… capek gimana?” jawab Tante Hani,”wong kerjanya makan tidur kalo libur begini. Memang doyan tidur aja dia..”
Aku duduk di sofa kecil di samping sofa besar yang ditiduri Tante Hani. Aku lupa pakai celana panjang tadi, sehingga kini aku hanya memakai celana boxer dan kaos singlet. Berhubung aku pikir Tante Hani sudah masuk kamarnya sendiri. Tiap kamar ada TV-nya, sehingga aku tidak menyangka ternyata Tante Hani nonton di ruang keluarga.
Sepanjang jalan dari saat aku memasuki ruangan hingga aku duduk, aku memperhatikan lekuk tubuh Tante Hani yang semok. Perutnya buncit, tapi bukan buncit gendut, hanya daerah sekitar pusar saja yang buncit tanda pernah melahirkan, juga aku memperhatikan ketiaknya yang putih bagai salju. Lebih putih dari kulit bagian lain. Tidak terlihat bekas cukur di situ. Bagaikan ia memang tidak memiliki bulu ketiak dari dulu.
Ketika aku sadar aku kurang ajar dengan menatapi tubuhnya seperti itu, aku segera menatap matanya, yang ternyata sedang menatap selangkanganku. Memang saat itu burungku sudah tegak, apalagi karena melihat tubuhnya yang walau memakai gaun tidur, tapi tampak seksi sekali.
Ketika aku sudah akan duduk, aku masih menatap matanya yang sedang asyik memperhatikan daerah terlarangku, barulah ketika aku duduk, mata Tante Hani menatap mataku. Sesaat kami bertatapan mata, aku melihat tatapannya yang berhiaskan harap, sehingga aku bukannya takut namun malah memberanikan terus menatap matanya. Aku pernah melihat tatapan yang sama pada ibuku dan Mbak Vidya, terutama ketika mulai birahi. Apakah Tante Hani sedang horny?
Setelah sejenak kami bertatapan, Tante Hani memalingkan mukanya dariku dan menatap TV lagi. Semburat merah terlihat di wajahnya yang putih. Menurutku, wajah wanita dewasa yang sedang tersipu seperti tanteku itu menjadikan kecantikannya bertambah seksi.
Kami terdiam selama beberapa waktu. Entah dua, tiga atau lima menit. Kami asyik dengan pikiran kami sendiri. Namun kemudian, setelah berdehem, tanteku berkata,
“Ari… tante mau ngomong sama kamu…. Kamu jangan marah ya….”
Seketika aku lemas. Aku saat itu berpikiran bahwa mungkin ini adalah saatnya Tante Hani akan memarahi aku karena hubunganku dengan anaknya. Tante Hani kemungkinan besar sudah tahu jalinan terlarang antara Mbak Vidya dan aku.
“Begini, Ri. Kamu tau kan Mbakmu Vidya. Dia itu baru lulus SMA. Rencananya tahun ini dia akan meneruskan kuliah. Mbakmu itu, remaja anak Jakarta. Pergaulan di Jakarta itu sekarang sudah modern. Nilai-nilai lama sudah ditinggalkan. Batas kesopanan sudah berbeda dibanding pada masa Tantemu dan ibumu dulu masih muda.
“Tadi siang Tante lihat kalian berdua di kamar tidur, memang sih hanya berbicara, namun pakaian kalian itu tuh. Masak hanya pakai baju dalam saja? Bukannya Tante marah, tapi rasanya ga pantas dua anak remaja berduaan pakai baju yang minim. Jangan bilang bahwa kamu sih biasa saja menghadapinya. Wong tante merhatikan burung kamu itu tegang, kok, waktu di dalam kamar Mbakmu. Sama kayak sekarang, burung kamu tegang lagi.
“Maksud tante, kamu ini sudah besar. Hal-hal seperti ini kamu sudah mengerti. Buktinya kamu kalau melihat perempuan pakai baju minim, kamu sudah mempunyai hasrat seksual. Jadi sebenarnya kamu sudah tahu mengenai hal-hal yang saru. Itu bukan hal yang salah, dan tante tidak menyalahkan kamu, kok. Jadi kamu jangan sedih dulu (wajahku sedang memelas saat itu).
“Nah, Mbakmu Vidya itu, mungkin karena pergaulannya yang modern dengan teman-temannya, maka dia tidak merasa bahwa apa yang dilakukannya salah. Kamu juga ga salah, karena kamu pun kayaknya ga tahu bahwa sebenarnya kalian itu ga pantes berduaan dengan hanya baju yang minim.
“Maksud tante. Mbakmu itu bukan anak yang polos lagi. Walaupun dia sudah sumpah di depan tante bahwa dia masih perawan, tapi mengenai hal-hal yang dewasa dia itu juga sudah tahu. Mungkin Karena pergaulannya, atau mungkin pendidikan, atau dari media informasi. Seharusnya dia juga tahu bahwa dengan berbaju minim itu, dia mengundang kelelakian kamu.
“Nah. Kemarin siang Tante lihat kalian sedang ciuman di ruang makan. Ciumannya hot banget. Pakai lidah segala. Apakah kamu menyangkal?”
Jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat. Ternyata kecurigaanku terbukti. Tante telah menyaksikan kami ciuman! Apakah Tanteku tahu sejauh mana hubunganku dengan Mbak Vidya?
Karena aku belum menjawab, dengan perlahan Tante Hani bertanya lagi,
“Benar ga kata-kata Tante, Ari? Kamu dan Mbak Vidyamu itu ciuman, kan?”
Aku hanya mengangguk dan menunggu semprotan susulan dari tanteku itu.
“Tante minta maaf. Tentu saja bukan salah kamu. Kamu kan masih kecil. Baru kelas 2 SMP Juli nanti. Tante minta maaf karena tidak bisa mengontrol anak tante. Dia itu lebih tua, harusnya lebih tahu. Nah, setelah tante melihat kemesraan kalian itu, Tante menjadi bertanya-tanya dan berpikir. Kenapa sih Mbak Vidya itu yang katanya masih perawan malah menggoda adik sepupunya sendiri?
“Tante terus mengingat-ingat masa lalu. Kalian berdua semenjak kecil memang dekat sekali. Dan memang itu sah-sah saja. Karena seharusnya kalian menjadi kakak dan adik sebagaimana mestinya. Tetapi, tante ingat ketika tahun lalu, kamu ini baru mau lulus SD, terakhir kali kamu dan mamamu menginap di rumah Tante.
“Entah kenapa kalian menjadi jarang ke sini lagi. Dan ini merubah Mbak Vidyamu. Dia jadi menutup diri di kamar. Waktu itu tante kira karena dia baru saja putus dari pacarnya. Jadi tante ga banyak pusing. Tetapi sekarang, ternyata Tante tahu permasalahannya.”
Aku semakin keringat dingin. Bentar lagi pasti akan pecah nih kemarahan Tanteku.
“Setelah tante pikir-pikir dengan seksama. Maka, tante menduga bahwa Mbakmu itu sebenarnya jatuh cinta sama kamu. Itulah kenapa tahun lalu dia tampaknya sedih. Dan itulah kenapa sekarang ketika kamu nginep di sini lagi, Mbakmu itu merayu kamu. Sampai kalian ciuman. Nah, yang tante mau tekankan adalah, jangan sampai hubunganmu terlalu jauh dengan Mbakmu. Kalian berdua ini masih muda. Masih sekolah. Jangan sampai ada sesuatu yang menghambat perkembangan kalian…”
Pertama-tama aku mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang Tante Hani katakan. Mau ga mau. Karena aku ketakutan dimarahi, aku menjadi siaga dan mendengarkan penuh apa yang ia katakan padaku. Tetapi setelah akhirnya aku mendapati bahwa Tanteku itu tidak marah padaku, pikiranku mulai ngelantur lagi. Mataku bagaikan ditarik oleh magnet yang tak terlihat dari tubuhnya sehingga mataku bolak-balik memperhatikan pangkal lengannya yang mulus dan dua buah payudaranya yang besar. Ketiak yang bersih dan botak bagaikan ketiak anak kecil dan gundukan buah dadanya mengirimkan sinyal yang tabu kepada naluri kelelakianku.
Tidak kusadari Tante Hani sudah tidak berbicara lagi. Suasana rumah menjadi hening. Dengan gugup aku memandang matanya yang saat itu sedang menatap mataku dalam-dalam. Wajah Tante Hani terlihat aneh. Tidak seperti biasanya. Seperti ada raut kegusaran yang diselingi oleh suatu ekpresi wajah yang aku tak pernah melihat sebelumnya.
“Tante perhatikan mata kamu menjelajahi dada dan ketiak Tante,” kata Tanteku dengan suara yang perlahan namun seakan menusuk jantungku,”memang ada apa dengan dada dan ketiak Tante?”
Dadaku berdebar tidak karuan. Mataku yang jelalatan sudah tertangkap basah. Aku bingung harus bilang apa kepada Tanteku itu. Aku menelan ludah dan berkata,
“eeee…… Tan…. Tan…. Tante cantiiiik….”
Tante Hani terdiam sebentar lalu berkata agak lirih,
“Tante cantik? Tante yang sudah tua dan gendut ini? Mbak Vidya kamu itu yang cantik. Muda. Badannya masih seksi, kan?”
Membahas ini bagaikan sesuatu yang normal menambahkan keberanianku untuk berbicara. Mungkin aku bisa merubah semua ini menjadi keuntungan bagi diriku sendiri.
“Mbak Vidya memang cantik. Tapi Tante ju… juga cantik. Tante memiliki kematangan. Apalagi da… dada Tante itu jauh lebih eee….. berisi daripada Mbak Vidya…” kataku sedikit terbata.
“tapi kenapa kamu juga memperhatikan ketiak Tante?”
“Ga tahu tante. Ari su… suka aja melihat ketiak Tante yang bersih tanpa bu.. bulu.”
“Masa sih? Mana ada lelaki yang suka sama ketiak? Oom kamu aja ga pernah melihat ketiak Tante seperti ini. Kamu sebenarnya jijik ya ngelihat tante buka ketiak seperti ini? Biar tante tutup tangan Tante.”
Tante Hani beringsut mengangkat kepalanya yang tadi menindih tangannya. Aku melihat kesempatan untuk menyentuh wanita setengah baya yang bohai ini, maka aku buru-buru memegang lengan bawahnya tepat di bawah siku sambil belagak panik sambil berkata,
“Jangan Tante! Biarin aja.”
Tante Hani tampak kaget dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia terdiam saja melihatku yang tadi duduk di sofa kecil di samping sofa besarnya itu kini sudah bergerak cepat menahan tangannya sehingga posisiku kini berlutut dihadapannya sambil memegang lengan kirinya itu.
Mataku terpaku kepada ketiaknya yang putih bersih itu. Pengalamanku dengan dua perempuan sebelumnya yang memiliki rambut ketiak menjadikan aku penasaran juga dengan perempuan yang mencukur bulu ketiaknya sehingga bersih. Apalagi aroma tubuh Tante Hani menambahkan daya erotisnya.
“Kalo… kalo boleh Ari mau lihat ketiak Tante lebih lama…” kataku perlahan.
Tante Hani tampak seperti berpikir ketika aku melirik wajahnya sebentar sebelum aku menatap lagi ketiaknya. Kusadari nafasnya kini mulai agak berat. Lalu Tante Hani berkata,
“Apa betul, Ri? Ga bohong? Memang sih kamu melihati terus ketek Tante kayaknya kamu suka. Tapi kamu masih melihat dari jauh. Tante masih ga percaya kamu suka sama ketiak Tante yang bau ini. Pasti kamu muak mencium bau ketiak Tante. Apalagi sore tadi Tante lupa mandi. Habis, mikirin kalian berdua sih.”
Ini kesempatan kedua, pikirku. Aku sekilas ingat bahwa Tanteku sedang ada permasalahan dengan Oomku. Ada kemungkinan sudah lama dia tidak disentuh laki-laki. Dalam sepersekian detik aku telah memutuskan tindakanku selanjutnya.
Dengan gerakan kilat, aku membenamkan hidungku di ketiak kirinya itu. Aroma Tanteku mirip dengan aroma tubuh Ibuku. Tetapi masih ada perbedaannya. Aroma tubuh tanteku tidak setajam Ibu melainkan sedikit halus dihidungku. Lebih mirip dengan aroma Mbak Vidya.
Tante Hani mengeluarkan pekik kecil dan mendorong kepalaku dengan tangan kanannya. Katanya tegas,
“Ari! Apa yang kamu lakukan?”
“Tante kan tidak percaya sama Ari,” kataku sambil menggunakan tangan kiriku menolak tangan kanan Tante Hani,” makanya mau Ari buktikan. Bau tubuh Tante Hani sangat wangi bagi Ari. Wangi banget, Tan.”
Lalu kembali aku membenamkan hidungku di ketiaknya. Kurasakan perlawanan di tangan kanan Tante Hani, namun aku terus menahan tangan itu dengan tangan kiriku. Beberapa saat aku menghirup aroma ketiak kiri Tante Hani sebelum akhirnya aku menjilati ketiak yang bersih itu.”
“Ahhhhhhh” desah Tanteku. Kini tangan kanannya berhasil mengalahkan tangan kananku. Berhubung aku masih anak bau kencur dan ia sudah dewasa. Tangan kanan itu tiba-tiba saja menjambak rambutku. Aku bersiap menahan sakit saat ia menjambak rambutku menjauh dari ketiaknya, tetapi ia hanya meremas saja tanpa menarik kepalaku. Sepertinya ini lampu hijau.
Sambil menjilati ketiaknya, aku menatap wajah Tante Hani. Ia sedang menatapku. Wajahnya penuh kekagetan dengan mulut menganga. Kami bertatapan lama juga. Ia memperhatikanku menjilati ketiaknya yang asin dan hangat. Tidak ada satu patah katapun keluar dari mulutnya. Aku mulai mengenyot keteknya, dari ujung bawah sampai ujung atas. Terkadang bahkan bagian bawah lengannya ikut tersapu juga oleh mulutku.
Mungkin ada sekitar lima menit aku menyelomoti ketiaknya. Aku tak yakin. Aku tidak memperhatikan jam dinding. Kemudian aku mulai meneruskan menjilat dan mengenyoti ke atas yaitu bagian bahu kirinya. Ketika pipiku menyentuh dagunya, aku segera mematuk mulutnya yang terbuka dengan mulutku.
Ketika bibirku menyentuh bibirnya, secara otomatis Tante Hani mengatupkan bibirnya, saat itu bibir bawahku tepat diantara kedua bibirnya, sehingga saat bibirnya menutup, bibir atas Tante Hani langsung aku kenyot dengan kedua bibirku.
Tante Hani memalingkan wajahnya ke arah punggung sofa sehingga bibir kami berpisah. Ia berkata lirih,
“Ari…. Kamu mau ngapain sih? Jangan…..”
Tangan kiriku yang memegang tangan kanannya dan juga tangan kananku yang menahan lengan kirinya tidak mendapatkan perlawan sama sekali. Aku menatap wajahnya. Wajah Tante Hani kini berpaling kembali ke arah wajahku dan menatapku dengan mata membelalak.
Aku sempat bingung. Tante Hani bilang tidak mau, tapi badannya tidak melawanku. Ia tidak mendorong tubuhku. Kalau dia mau, dia mampu melawanku seperti yang tadi ia perlihatkan. Tapi kini tidak ada perlawanan darinya.
Aku mencium bibirnya lagi. Kembali Tante Hani memalingkan wajahnya dan berkata,
“Ari! Aku ini tantemu!”
Kucium lagi. Dan kembali ia menolak sambil berkata,
“Ari! Jangan kurang ajar ya! ini Tantemu!”
Aku terus mencoba mencium bibir Tante Hani tapi berulang kali ia memalingkan wajah dan memohon agar aku menghentikan aksiku ini. Setelah sekitar dua menit, ketika ia memalingkan wajah ke sekian kalinya, aku meneruskan ciumanku ke pipinya.
“Ari….. jangan dong…. Ini kan incest….. hentikan Ari!”
Lucunya Tante Hani berkata tanpa berteriak dan tanpa melawan. Aku pikir Tanteku ini orangnya sangat menjaga image. Ia tidak mau terlihat seperti wanita murahan, namun sebenarnya ia menyukainya. Namun melakukannya di sofa membuatku tidak leluasa. Maka aku berkata,
“Tante…. Tidur yuk, Ari sudah ngantuk nih…..” lalu aku berdiri. Tante Hani terdiam beberapa saat sambil beberapa kali menghela nafas. Lalu ia beranjak dari sofa lalu berjalan ke kamarnya. Aku mengikutinya.
Ketika Tante Hani masuk, ia menutup pintu sebelum aku masuk, namun ia menutupnya dengan lambat sekali sehingga aku berhasil menyelusup masuk.
Tante Hani menunjukkan wajah kaget, katanya,
“Ari! Kamu ngapain di kamar Tante? Tante mau tidur.”
Aku menutup pintu sambil berkata,
“Tidur aja Tante. Ari juga ngantuk mau tidur.”
“Ya udah kamu tidur di kamar kamu. Kamu ga boleh di sini.”
Ketika aku membalikkan badan kulihat Tante Hani sudah berjalan ke tempat tidur lalu merebahkan dirinya di tempat tidurnya yang besar setelah mendorong bed cover dengan kakinya sehingga kini ia tidur tanpa berselimut.
Aku cepat-cepat membuka bajuku hingga telanjang. Tante Hani kulihat memalingkan wajah ke arah berlawanan. Tak lama aku duduk di samping tempat tidur tepat di sebelah Tante Hani. Tante Hani menoleh kepadaku,
“Ari! Keluar! Tante mau tidur.” Suara tanteku itu bernada teguran, namun tidak berteriak. Aku perlahan menindihnya. Tante berkata lagi,” Ari! Jangan kurang ajar sama Tante!”
Kedua tangannya menolak pelan bahuku, kupegang tangannya lalu aku menahan tangannya di samping kedua kepalanya. Barulah kemudian dadaku menindih dadanya yang besar dan kenyal.
“Tante mau diapain Ari? Hentikan, Ari! Jangan kurang ajar!” kini suaranya lebih pelan, walau ada penekanan di kata-katanya bagaikan orang yang benar-benar marah. Baru kali ini aku dengar ada orang yang marah dengan suara pelan.
Aku cium bibirnya. Tante Hani tidak memalingkan wajahnya melainkan menutup mulutnya rapat-rapat sambil menggeleng-geleng kecil sambil menggumam seakan menolak. Kedua tanganku melepaskan pegangan pada tangannya lalu menahan kepalanya agar aku leluasa mencium bibirnya. Kedua tangannya gantian memegang pergelangan tanganku, mendorong tanganku pelan sambil sesekali menampar tanganku, ingin menunjukkan perlawanan. Tapi sebenarnya perlawanan pura-pura saja.
Kini kepalanya tak dapat bergerak. Barulah Tante Hani mulai berbicara lagi, namun kini membuat mulutnya terbuka sehingga lidahku dapat masuk ke mulutnya.
“Ari..mmmphhhh…. hentikan….mmmphhhh…… Ari…..mmpmmp sudahhhh…..mmmmphhhh”
Tiap kali ia berbicara, lidah kami bergesekkan dan tiap kali dia menggumam mmmppphhh sebenarnya Tante Hani mengenyot balik. Apalagi kini tangannya ikut aktif mendorong tanganku dan menampar tanganku. Walaupun hanya perlahan, tetapi anehnya membuat libidoku bangkit secara cepat sekali.
Aku yang selama kami bergulat merasakan kekenyalan tubuhnya, segera duduk di samping tubuhnya, lalu menarik dasternya ke atas badannya. Posisi Tante Hani tiduran telentang, sehingga susah membukanya. Namun, Tante Hani bergeliat-geliat di saat yang tepat sehingga sebenarnya membantuku dalam usaha membuka dasternya itu. Ketika dasternya berada di bawah pantatnya ia bergeliat dengan mengangkat pantat itu sambil terus mengoceh.
“Kamu mau apa Ari? Mau perkosa Tante? Jangan Ri! Tolong Ri! Hentikan!”
Selang semenitan lebih daster itu sudah kubuang ke lantai. Kedua teteknya bagaikan buah kelapa besarnya. Kalau ibu bagai kelapa yang diparut, kalo Tanteku ini bagaikan kelapa yang belum diparut. Namun bentuknya bulat dan kokoh. Hanya saja karena usia dan pernah melahirkan, payudaranya sedikit turun dan puting yang sedikit tertunduk ke bawah. Namun melihat ukurannya yang besar, sungguh bisa disebut tobrut!
Tante Hani tidak menutup kedua dadanya yang besar sama sekali melainkan ia malah menutup celana dalamnya sambil berkata,
“Jangan dibuka celana dalam ini, Ri! Tante ga mau!”
Melihat perilaku seperti ini, malah aku mengerti maksud Tanteku agar melorotkan CDnya. Maka aku segera menarik CDnya yang putih itu. Tante menggeliat lagi saat CD itu melewati pantatnya. Dan tak lama CD itu menemani daster Tante Hani di lantai. Aku tidak mau daster itu kesepian. Hehehehe.
Tante Hani mengangkang, namun dengan kedua tangan menutupi selangkangannya. Aku duduk di bawah selangkangan itu. Lalu aku tarik kedua tangan Tante Hani yang hanya memberikan perlawanan setengah hati sehingga membebaskan mataku melihat Vagina Tante Hani yang juga tidak memiliki rambut sama sekali! Licin bagaikan pualam. Sementara, kulihat memek Tante sudah basah oleh cairan kewanitaanya sendiri. Bau tubuh Tante Hani kini menguasai udara kamar.
Tak lama aku mulai menjilati memeknya yang indah itu. Memek itu berbeda dengan memek ibuku. Memek Tante Hani memiliki bibir luar yang lebih tipis dan bibir dalam yang tebal sehingga terlihat. Cairan kewanitaannya pun tampak lebih banyak dari ibu maupun Mbak Vidya. Baru sebentar saja, mulutku sudah kebanjiran cairan. Tubuh bohai Tante Hani menggelinjang terus bahkan ia mendorong selangkangannya agar menekan mulutku sementara kini kedua tangannya sudah menjambak rambutku sambil menarik kepalaku agar lebih menekan selangkangannya. Anehnya, sepanjang kami bergumul ia tetap mengutarakan penolakannya padaku,
“Jangan jilati memek Tante, Ri! Tante bukan Mbak Vidyamu! Tante bukan budak seks kamu! Tante bukan Mama kamu, perempuan jalang yang tidur sama anaknya sendiri!”
Untuk sejenak aku kaget. Ternyata Tante Hani ini pintar. Ia tahu segalanya. Ibuku tak mungkin menceritakan aib kami, pasti Tante Hani curiga dari telpon nikmat yang dulu ibuku dan aku lakukan ketika kami bersetubuh saat ibu telponan dengan Tante Hani! Dan mengenai aku dan Mbak Vidya, dia pasti pernah melihat kami ngentot di rumah ini.
Ketika Tante Hani orgasme, cairan kewanitaanya bagai menyemprot keluar. Pengalaman baru bagiku. Ibu dan Mbak Vidya tidak sampai sebegininya. Orgasme Tante Hani terjadi beberapa saat, sekitar satu menit sampai akhirnya ia dengan lemas memejamkan matanya. Tubuhnya tak bergerak selama beberapa saat.
Aku dengan sigap segera memposisikan kontolku di lubang vagina Tante Hani, dan dengan sentakan keras aku mendorong masuk kontolku hingga dalam satu tusukkan seluruh penisku terbenam dalam rongga memek Tanteku itu. Walaupun lorong kencing Tante Hani tidak sesempit Mbak Vidya, namun ternyata masih sedikit lebih kencang dari memek Ibuku. Sungguh nikmat rasanya kemaluanku dijepit dinding kemaluan Tanteku itu.
Tante Hani membuka mata dan menatapku sambil berkata lirih,
“Ari! Kenapa kamu masukkin? Kamu sudah memperkosa Tante! Hentikan, Ri!”
Aku menindihnya lagi, Tante Hani memeluk kedua pantatku. Aku menekuk sedikit kepalaku dan dengan bantuan tanganku aku memegang payudara besar Tante Hani lalu menyedotinya dengan rakus sementara tangan yang satu asyik meremasi yang sebelah. Sungguh berbeda rasanya menetek pada perempuan berpayudara jumbo. Empuk, kenyal dan luas sekali. Apalagi saat meremasnya, payudaranya seakan tak ada habis-habisnya!
Kedua kaki Tante Hani menjepit pantatku dan kedua tangannya seirama dengan tusukan-tusukanku terhadap organ intim kewanitaannya. Tubuh Tante Hani yang semok dan bohai sungguh enak di tindih. Empuk sekali. Aku bagaikan orang gila menyedot menghisap kedua buah payudara jumbo milik Tante Hani sehingga tak lama hampir keseluruhan dada Tante Hani sudah basah oleh ludahku dan terhias cupangan penuh nafsu di sana-sini. Sementara mulut Tante Hani terus meracau,
“Bajingan kamu Ri! Kamu sudah menggagahi Tantemu sendiri! Dasar bocah cabul! Bocah mesum! Kamu suka mengentoti keluarga sendiri! Tante tahu waktu kamu pertama sampai di sini, pasti kamu juga menggagahi ibu kamu waktu di jalan, kan? Bau memek ibu kamu Tante sudah hafal. Waktu itu bau memek ibu kamu keras sekali tercium, apalagi ada bau peju laki-laki. Pasti kamu ngecrot di dalam rahim ibu kamu, kan?
“Tante duga pasti bayi yang ada di perut ibu kamu adalah anak kamu. Dasar kamu bocah ngeres otaknya! Kamu menghamili ibu kamu sendiri! Kemarin saja Mbak Vidya kamu paksa ngentot di tangga. Tante lihat kamu menikmati menyemprot pejumu di dalam tubuh Mbakmu. Pasti kamu mau menghamili dia juga, kan? Dasar bocah gendeng! Bocah edan!
“Sekarang kamu ngentotin Tantemu ini tanpa perlindungan apapun. Tanpa kondom. Tante juga ga pake kontrasepsi. ****** kamu yang telanjang itu masuk dan menerobos memek Tante yang tidak terlindungi. Kalau kamu ejakulasi di dalam memek Tante, pejumu akan menyirami rahim Tante yang subur. Kamu pasti akan bikin Tante hamil. Tante mohon, jangan hamili Tante, Ri. Tante ga mau kamu hamili. Please Ri.”
Aku mendengar ocehan Tanteku semakin bersemangat. Entotanku semakin cepat dan kuat. Tante Hani pun tampaknya juga semakin hot. Goyangannya makin hebat saja. Bahkan ia mengatur bantalnya agak tinggi sehingga tubuh atasnya agak menekuk. Lalu tanpa malu ia menarik kepalaku lalu merunduk lalu mencium bibirku dengan buas.
Kami berciuman secara liar. Dapat kurasakan air liur Tante Hani kadang memerciki dagu dan hidungku. Hebatnya ia menciumiku sambil terus mengoceh di sela-sela ciuman,
“hmmmppp….. kamu…..hmmmmphh…. bajingan…………….hmmmpppphh… kamu suka……hmmmmphhh…..hmmmphhhh…. ngentotin hmmmphhhh…. hmmmppphh Tante?…. hmmmphhh……hmpphhh…….hmpmmmphhh….. puas? Hmmmphhhhh……”
Lama kelamaan orgasme kami mendekat, dan kini ocehan Tante sudah tidak terdengar lagi. Karena kini kami asyik melumat bibir kami masing-masing. Malah terkadang kami asyik menjilati wajah satu sama lain. Semakin dekat orgasme kami, kami sudah tidak lagi berciuman, tapi saling menjilati. Kami bagai dua ekor anjing yang sedang birahi saja.
Berhubung aku lelaki. Saat-saat terakhir aku menekap kepala Tante Hani dan menjilati seluruh wajahnya. Jidat, mata, pelipis, pipi, dagu, hidung, kuping Tante Hani tidak ada satu sentipun yang tidak kujilat. Bahkan lubang kuping dan lubang hidungnya juga aku jilati sejauh yang lidahku dapat capai.
Ketika orgasme kami sudah di depan pintu, kami memalingkan muka kami ke kiri dan kanan sehingga lidah kami kini menempel bagian atas dengan bagian atas, dan sekuat tenaga kami saling menekan lidah kami untuk mengecap lidah satu sama lain dengan sangat kuat sementara bibir kami saling menghisap. Di saat itulah aku membenamkan kontolku sedalam-dalamnya dan memuntahkan pejuku sejauh mungkin ke dalam perut Tanteku. Dan sedetik kemudian kurasakan cairan memek Tanteku menyembur pula diiringi dinding kemaluan Tanteku membuka menutup, memijat sekujur batang penisku yang sedang ejakulasi.
Aku ambruk di atas tubuh Tante setelah mengalami orgasme hebat. Tanteku memelukku dan membelai kepalaku dengan tangan kirinya. Kedua tubuh kami penuh berkeringat, sementara dari memeknya, pejuku memenuhi memeknya sehingga ada sebagian kecil yang luber keluar. Lidah Tante Hani masih menjilat-jilat pelan lidahku.
Setelah beberapa saat, aku mulai tersadar lagi. Kontolku sudah lepas dari memeknya dan aku beringsut ke samping kiri badannya. Kami berhadapan menyamping, sementara lidah kami saling menjilat perlahan. Tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kami saling berpelukan erat mencampurkan keringat dan ludah.
Ku angkat tangan kanannya dan kujilati lagi. Bau ketek ini sudah sangat santer tercium karena Tante Hani keringatan bagaikan mandi saja. Tak lama kontolku keras lagi. Tante Hani kini mendorong badanku lalu menduduki selangkanganku. Ia mengangkat pantatnya sambil tangan kanannya memegang kontolku, ia mengarahkan kontolku di lubang memeknya yang basah itu, lalu mendudukiku lagi. Kontolku amblas lagi di dalam kemaluannya.
Gantian Tante Hani menindihku. Namun ia menggunakan kedua tangannya untuk menjadi tumpuan sehingga tidak seluruh berat tubuhnya menindihku. Kemudian ia mulai bergoyang perlahan. Ronde kedua kami tidak seliar ronde pertama. Kami berciuman perlahan, sama perlahan dengan gerakan pantat Tante Hani. Ini baru bercinta. Bukan ngentot.
Sepanjang persetubuhan kami, kami berciuman. Tante Hani mulai bicara lagi kini dengan suara yang berbisik.
“Kontolmu enak banget, Ri. Lebih gede dari punya Om-mu.”
“Memek Tante legit dan sempit. Lebih sempit dari Memek Ibu,”jawabku.
Kurasakan tubuhnya yang basah dan semok menempel di tubuhku. Keringat Tante Hani yang mengucur membuat tubuhnya makin licin saja. Kedua tanganku mengusap punggungnya yang agak lebar dan halus itu. Kami terus berciuman sambil berbicara.
“Tante ketagihan ****** kamu, keponakanku.”
“Ari ketagihan Tante. Ga hanya memek Tante yang sempit. Semua dari Tante Ari suka. Keringat Tante, ludah Tante, Tetek Tante, Ketek Tante, wajah Tante yang cantik, tubuh Tante yang bohai. Semuanya. Semuanya.”
“Tante jatuh cinta sama kamu. Sama kayak Mbak Vidyamu.”
“Ari juga. Tante jadi isteri Ari saja….”
“Sekarang kan Tante lagi jadi isteri Ari. Hanya suami yang boleh masukkin kontolnya ke dalam memek seorang perempuan. Saat ini Tante adalah isteri kamu, sayangku…”
Sebenarnya maksudku adalah menikah secara sah. Namun tampaknya Tanteku ini salah duga. Biarlah, toh aku anak kecil yang tidak terlalu ditanggapi secara serius oleh orang dewasa. Tapi, aku sudah punya rencana ke depannya. Biarlah nanti waktu yang memutuskan. Untuk saat itu, aku hanya menjawab dengan bercinta dengan Tanteku sampai pagi. Hari itu aku empat kali ejakulasi ke dalam rahim Tanteku.
Paginya aku tidur di kamar tamu. Masih banyak keraguan dariku sebelum aku tidur pulas pagi itu. Bagaimana dengan ibu dan Mbak Vidya? Apa yang akan terjadi? Biarlah waktu yang berbicara.